Thursday, November 2, 2017

Berlatih Bersuara Ramah

Komunikasi, rasanya kata komunikasi seringnya kita anggap taken for granted. Setiap hari setiap orang berbicara, menyampaikan maksud dan keinginan, berkomentar, meminta, memberi tahu, dan lain sebagainya. Bahkan saking setiap harinya hal itu kita lakukan, tampaknya komunikasi menjadi hal yang biasa, tak perlu dipersiapkan dengan matang bahkan apabila ternyata hasil dari komunikasi tersebut tidak sesuai dengan maksud kita, paling biasanya kita akan kesal, atau lebih buruk, seringnya kita justru menumpahkan kekesalan kita pada partner komunikasi kita. Sounds familiar? It does, itulah yang terjadi pada Saya dan tambah parah sejak Saya punya anak pertama yang beranjak balita. Malu rasanya menyandang Sarjana Ilmu Komunikasi tapi nyatanya ilmu tak selaras dengan amal, jadi ayo kita belajar lagi.

Materi pertama kuliah Bunda Sayang ini berjudul Komunikasi Produktif, dan tantangannya adalah berlatih setiap hari untuk memperbaiki pola komunikasi kita dalam keluarga agar lebih produktif. Hari ini Saya menentukan satu topik untuk dilatih yaitu berlatih selalu menggunakan suara dengan intonasi ramah. Jujur saja, siapa orangnya yang tidak pernah bernada tinggi saat berbicara selama hidupnya? Barangkali dan Saya yakin ada, tapi it is so human kan kadang manusia berekspresi seperti lingkungan yang membesarkannya. As for me, Saya sangat lekat dengan cara asuh demikian sehingga ketika Saya menjadi istri dan seorang Ibu Saya  melakukan hal yang sama.

Saya sangat tertohok ketika anak pertama Saya yang berusia 39 bulan (3 Tahun 3 bulan) sekarang sangat sering menyampaikan sebuah keinginan dengan cara berteriak jika keinginannya tidak segera terpenuhi, I was like oh No I did that to him, he is copying me!. Ini teguran keras buat Saya dan seluruh keluarga. Apalagi setelah membaca sebuah materi tausiyah tentang rumah tangga syurga adalah rumah tangga tanpa teriakan, tambah jleb rasanya. Bagaimana tidak, bahkan Saya sering teriak ketika Saya panik atau kesal melihat anak sedang “beraktivitas” yang bagi kita orang dewasa seperti sedang “bikin berantakan”, padahal apa yang sedang anak kita lakukan adalah sedang bereksplorasi. Misalnya seperti saat Saya sedang menulis ini, anak Saya menjatuh-jatuhkan kotak tissue,, instead of judging him; "kok bikin berantakan sih Nak?!" sambil teriak atau memarahinya, setelah Saya belajar Saya berusaha tarik nafas, buang nafas kuat lalu berusaha clear and clarify, “Itu ceritanya kenapa Nak? Kok dibuang kotak tissuenya?" Lalu anak Saya menjawab: “Iya, itu mobil, mobilnya jatuh, rusak…” aha!! Jadi dia sedang berimajinasi bermain, sambil observasi, asal masih dalam tahap aman atau tidak membahayakan, sekarang Saya lebih memilih untuk “Follow the Child”, beri ia ruang untuk berkreasi. Orang dewasa hanya perlu memahaminya, memahami cara belajar anak-anak, yang tidak sama dengan cara belajarnya orang dewasa.

Oke, back to topik latihan, jadi ketika berusaha memahami seperti itu maka Saya mengingat ingat tujuan (desired state) yang hendak Saya raih dalam latihan kali ini “Bersuara Ramah dalam segala suasana, bahkan saat marah”. Partner latihan Saya adalah anak pertama Saya. Dalam tulisan Saya ini sebelumnya telah Saya sebutkan, anak pertama Saya berusia tiga tahun tiga bulan, laki-laki namanya Naren. Ada alasan kuat selain yang telah Saya sebutkan, kenapa Saya berlatih dengan anak, karena saat ini anak sulung Saya dan juga Saya sedang belajar menerima kehadiran anak kedua Saya. Naren sedang berusaha menyesuaikan diri menjadi seorang kakak. Saya sedang belajar membagi kasih. Luar biasa rasanya, belum ada sebulan Saya melahirkan, sehingga ujian kesabaran ini terasa komplit sekali. Beberapa kali ketika Saya belum berlatih, Saya selalu lepas kendali, tidak jarang ketika Naren minta perhatian Bundanya dan Saya sedang merawat atau menyusui adiknya, Saya berteriak padanya meminta untuk menunggu dan tidak mengganggu proses. Ya Allah…padahal sungguh ia pun sejatinya sedang berusaha memahami, kenapa sekarang Bundanya terbagi perhatiannya. Seringnya setelah itu lalu Saya menangis, meninta maaf padanya, karena apalah hak Saya membentak AmanahNya, apa kelak yang akan Saya pertanggungjawabkan pada Allah jika Allah kelak bertanya di Yaumul Mizan. Padahal ia juga adalah bayi yang tiga tahun lalu Saya damba-dambakan kehadirannya, dan Ia adalah masih bayi yang sama hari ini.

Baik, dalam latihan ini Saya tetapkan kandang waktu, yaitu dengan batas waktu hingga waktu Ashar tiba. Saya merasa perlu membuat kandang waktu demikian untuk membantu Saya berlatih sedikit namun komit dan mengamalkan, sehingga Saya juga memiliki waktu utuk refleksi sejauh mana hasil dari latihan yang sudah Saya lakukan. Hasil hari ini:  dalam skala parameter keberhasilan yang Saya tentukan: yakni lebih dari tiga kali nada tinggi/bentakan/ teriakan, maka hari ini Saya gagal dan masih bernada tinggi bahkan teriak hingga empat kali, utamanya ketika saya panik melihat kak Naren menyentuh adik bayinya dengan sentuhan yang terlalu kuat bagi anak bayi dan cenderung berpotensi membahayakan keselamatan adiknya.          
So, inilah cara Saya merayakan kegagalan, malam ini Saya peluk si kakak dan ulangi latihan untuk persiapan esok yang lebih baik. Malam ketika adik bayi sudah tidur malam biasanya waktunya lebih panjang untuk bercengkrama dengan kakak. Bismillah, mari berlatih lagi esok hari.    

#hari1 
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip             

No comments:

Post a Comment