Komunikasi, rasanya kata
komunikasi seringnya kita anggap taken for granted. Setiap hari setiap orang
berbicara, menyampaikan maksud dan keinginan, berkomentar, meminta, memberi
tahu, dan lain sebagainya. Bahkan saking setiap harinya hal itu kita lakukan, tampaknya
komunikasi menjadi hal yang biasa, tak perlu dipersiapkan dengan matang bahkan
apabila ternyata hasil dari komunikasi tersebut tidak sesuai dengan maksud
kita, paling biasanya kita akan kesal, atau lebih buruk, seringnya kita justru menumpahkan
kekesalan kita pada partner komunikasi kita. Sounds familiar? It does, itulah yang
terjadi pada Saya dan tambah parah sejak Saya punya anak pertama yang beranjak
balita. Malu rasanya menyandang Sarjana Ilmu Komunikasi tapi nyatanya ilmu tak selaras dengan amal, jadi ayo kita belajar lagi.
Materi pertama kuliah Bunda
Sayang ini berjudul Komunikasi Produktif, dan tantangannya adalah berlatih
setiap hari untuk memperbaiki pola komunikasi kita dalam keluarga agar lebih
produktif. Hari ini Saya menentukan satu topik untuk dilatih yaitu berlatih
selalu menggunakan suara dengan intonasi ramah. Jujur saja, siapa orangnya yang
tidak pernah bernada tinggi saat berbicara selama hidupnya? Barangkali dan Saya
yakin ada, tapi it is so human kan kadang manusia berekspresi seperti
lingkungan yang membesarkannya. As for me, Saya sangat lekat dengan cara asuh
demikian sehingga ketika Saya menjadi istri dan seorang Ibu Saya melakukan hal yang sama.
Saya sangat tertohok ketika anak pertama
Saya yang berusia 39 bulan (3 Tahun 3 bulan) sekarang sangat sering
menyampaikan sebuah keinginan dengan cara berteriak jika keinginannya tidak
segera terpenuhi, I was like oh No I did that to him, he is copying me!. Ini teguran
keras buat Saya dan seluruh keluarga. Apalagi setelah membaca sebuah materi
tausiyah tentang rumah tangga syurga adalah rumah tangga tanpa teriakan, tambah
jleb rasanya. Bagaimana tidak, bahkan Saya sering teriak ketika Saya panik atau kesal melihat anak sedang “beraktivitas”
yang bagi kita orang dewasa seperti sedang “bikin berantakan”, padahal apa yang
sedang anak kita lakukan adalah sedang bereksplorasi. Misalnya seperti saat
Saya sedang menulis ini, anak Saya menjatuh-jatuhkan kotak tissue,, instead of
judging him; "kok bikin berantakan sih Nak?!" sambil teriak atau memarahinya,
setelah Saya belajar Saya berusaha tarik nafas, buang nafas kuat lalu berusaha
clear and clarify, “Itu ceritanya kenapa Nak? Kok dibuang kotak tissuenya?" Lalu
anak Saya menjawab: “Iya, itu mobil, mobilnya jatuh, rusak…” aha!! Jadi dia
sedang berimajinasi bermain, sambil observasi, asal masih dalam tahap aman atau
tidak membahayakan, sekarang Saya lebih memilih untuk “Follow the Child”, beri
ia ruang untuk berkreasi. Orang dewasa hanya perlu memahaminya, memahami cara belajar
anak-anak, yang tidak sama dengan cara belajarnya orang dewasa.
Oke, back to topik latihan, jadi
ketika berusaha memahami seperti itu maka Saya mengingat ingat tujuan (desired state) yang
hendak Saya raih dalam latihan kali ini “Bersuara Ramah dalam segala suasana, bahkan
saat marah”. Partner latihan Saya adalah anak pertama Saya. Dalam tulisan Saya ini sebelumnya telah Saya
sebutkan, anak pertama Saya berusia tiga tahun tiga bulan, laki-laki namanya
Naren. Ada alasan kuat selain yang telah Saya sebutkan, kenapa Saya berlatih
dengan anak, karena saat ini anak sulung Saya dan juga Saya sedang belajar
menerima kehadiran anak kedua Saya. Naren sedang berusaha menyesuaikan diri
menjadi seorang kakak. Saya sedang belajar membagi kasih. Luar biasa rasanya,
belum ada sebulan Saya melahirkan, sehingga ujian kesabaran ini terasa komplit
sekali. Beberapa kali ketika Saya belum berlatih, Saya selalu lepas kendali,
tidak jarang ketika Naren minta perhatian Bundanya dan Saya sedang merawat atau
menyusui adiknya, Saya berteriak padanya meminta untuk menunggu dan tidak
mengganggu proses. Ya Allah…padahal sungguh ia pun sejatinya sedang berusaha
memahami, kenapa sekarang Bundanya terbagi perhatiannya. Seringnya setelah itu
lalu Saya menangis, meninta maaf padanya, karena apalah hak Saya membentak
AmanahNya, apa kelak yang akan Saya pertanggungjawabkan pada Allah jika Allah
kelak bertanya di Yaumul Mizan. Padahal ia juga adalah bayi yang tiga tahun
lalu Saya damba-dambakan kehadirannya, dan Ia adalah masih bayi yang sama hari
ini.
Baik, dalam latihan ini Saya tetapkan
kandang waktu, yaitu dengan batas waktu hingga waktu Ashar tiba. Saya merasa
perlu membuat kandang waktu demikian untuk membantu Saya berlatih sedikit namun
komit dan mengamalkan, sehingga Saya juga memiliki waktu utuk refleksi sejauh
mana hasil dari latihan yang sudah Saya lakukan. Hasil hari ini: dalam skala parameter keberhasilan yang Saya
tentukan: yakni lebih dari tiga kali nada tinggi/bentakan/ teriakan, maka hari
ini Saya gagal dan masih bernada tinggi bahkan teriak hingga empat kali,
utamanya ketika saya panik melihat kak Naren menyentuh adik bayinya dengan
sentuhan yang terlalu kuat bagi anak bayi dan cenderung berpotensi membahayakan
keselamatan adiknya.
#hari1
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

No comments:
Post a Comment