Sebagai seorang ibu bekerja, yang bekerja di Ibukota dan
harus menempuh perjalanan sebagai commuter dari rumah di Depok ke kantor di
bilangan Slipi Jakarta, adalah suatu tantangan yang walaupun sudah dikatakan
biasa namun melampauinya setiap hari membutuhkan sebuah keteguhan hati seluas
samudra. Saya harus mengakui, menempuh segala tugas yang dichallenge dalam
games kelas bunda sayang adalah sebuah upaya yang bagi saya luar biasa harus
saya tempuh dengan segala rasa yang berkecamuk. Tantangan yang harus selalu
konsisten, bagaimana menyiasati waktu yang saya miliki seoptimalnya di rumah.
Bagian paling sedih adalah saat saya pulang ke rumah sudah tidak sempat bertemu
anak saya sebab ia sudah tidur. Terkadang tengah malam memang anak saya
terbangun, namun sudah pasti saya tidak akan menemaninya berlama-lama bangun
sebab saya akan melanjutkan tidur agar esok hari saya bisa bangun tepat waktu
melanjutkan kegiatan bekerja. Kebetulan dirumah saya tinggal bersama saya Ibu
saya dan adik saya yang sedang saya kuliahkan. Jadi mereka akan mengatur waktu
bergantian untuk menemani anak saya ketika terbangun malam.
Jika ada kegiatan di kantor yang membutuhkan waktu tambahan
untuk melakukan kerja di kantor hingga malam biasanya saya paling cepat tiba di
rumah pukul 23.00. Allahu Akbar… membayangkan tiba di rumah hanyalah air segar
untuk mandi lalu meluruskan punggung di kasur. Jika tidak ada kegiatan
tambahan, paling cepat saya pulang dari kantor sampai rumah pukul 20.00. Padahal
moda transportasi yang saya gunakan adalah kendaraan umum kereta listrik
Commuter Line, yang memiliki efisiensi waktu tempuh paling cepat diantara moda
transportasi lainnya bagi para pelaju seperti saya. Begitu mendapatkan
tantangan kemandirian untuk anak, saya menghadapi sebuah kenyataan yang luar
biasa harus saya hadapi. Tantangan kesempatan waktu, ya! betul sekali, diantara
tantangan yang lain saya rasa inilah tantangan terbesar bagi ibu bekerja. Saya
menyadari sepenuhnya mendelegasikan tugas pengasuhan kepada ibu saya selaku
eyang anak saya adalah ikhtiar optimal yang dapat saya lakukan sebagai manajer
pendidikan keluarga. Namun, tantangan kemandirian ini menyadarkan kepada saya
bahwa melatih kemandirian yang dilakukan oleh ibuya sendiri memberikan sebuah
kesempatan refleksi kepada saya selaku manajer pendidikan, untuk melihat
sendiri sejauhmana kemampuan kemandirian yang sudah berhasil mana yang belum
dan harus diteruskan pelatihannya kepada pihak yang saya delegasikan selepas
tantangan kemandirian ini.
Anak saya laki laki berusia 31 bulan (2 tahun 7 bulan), dari
catatan referensi ceklis kemandirian untuk rentang usianya, dalam rentang
tantangan games level 2 ini saya memfokuskan pada dua macam kemandirian:
- Makan sendiri
- Mengambil benda yang dibutuhkannya sendiri
Oh Rabbi, diantara dua hal tersebut, melatih makan sendiri
adalah yang bagi saya tantangan terbesar, sebab saya maupun eyangnya belum
dengan optimal “rela” melihat hal yang berantakan dan khawatir makanan yang
masuk tidak optimal. Kami lalu belajar merelakan makanan dan minuman tumpah
dengan disertai do’a kepada Allah bahwa ini bukan maksud mubazir tapi maksud
melatih. Demikian pula terhadap penggunaan tisu, kami sambil berdo’a bahwa
bukan dalam rangka tidak go green tapi jika menggunakan lap, jumlah lap
terbatas. Saya sendiri sambil berpikir, berapa kubik kayu sudah saya gunakan
untuk ini, kelak saya harus punya ikhtiar untuk menggantikan hal ini, dan
langkah pertama adalah dengan lebih konsisten lagi melatih anak makan sendiri.
Saya pikir, inilah pemikiran yang saya dapatkan dari proses melatih kemandirian
tersebut.
Saya punya alasan khusus mengambil fokus dalam melatih kemandirian
anak dalam hal makan sendiri, karena saya tidak mau anak saya seperti saya yang
hingga kelas enam SD masih harus disuapin untuk makan. Saya memiliki kebiasaan
yang pastinya dibentuk oleh mama saya. Saya mengalami sulit makan sejak balita,
entah karena pengkondisian makan yang mebuat saya tidak bisa menikmati atau apa
tapi saya selalu suka emut makanan, mama saya telaten sekali menyuapi karena
khawatir saya tidak mendapatkan asupan yang cukup, hingga bagi mama saya lebih
baik anak minta disuapin daripada asupannya tidak optimal. Saya punya catatan
khusus mengenai ini, maka saya fokus agar anak saya tidak demikian. Penting
karena yang sehari-hari mengasuh anak saya adalah mama saya, maka walopun
sedikit kecenderungan alam bawah sadar mama pasti ada keinginan untuk selalu
menyuapi.
Hal lain yang saya ingin alirkan disini selain tantangan
waktu yang sudah saya sampaikan di atas, tantangan lain yang saya hadapi adalah
tantangan anugerah amanah calon janin yang kemudian saya ketahui sedang bertumbuh
di Rahim saya. Saat saya mengetahui usia kandungan sekitar enam minggu dan
mulai emesis. Penyesuaian badan terhadap kehadiran janin membuat saya harus
bedrest selama seminggu di rumah. Hormon kehamilan dan gula darah yang rendah
membuat saya tambah berkecamuk. Menulis tantangan kemandirian tertunda total. Di
tengah kegalauan, saya tidak kuasa untuk tidak bercerita rasa pada group fasil
tercinta. Saya hampir menyampaikan untuk mengundurkan diri mengajukan cuti sebab
saya merasa kurang bertanggung jawab. Namun di sisi lain saya tetap ingin
berada di kelas bunsay dan mengampu kelas bunsay, karena ini justru
pembeleajaran yang harus saya kejar sebagai ibu bekerja. Namun ujian
muntah-muntah dan mual selalu menggoda untuk berpikiran lain.
Saya hanya bisa berdo’a dan bertanya pada Allah, ya Allah
apa kiranya yang sedang Engkau skenariokan pada hamba terhadap hal ini. Dua
minggu lamanya saya sama sekali tidak produktif. Namun, Allah tidak lama kemudian
memberikan jawaban melalui Ibu Septi, “Maka
maknai project ini sebagai sarana belajar teman-teman bukan kewajiban atau
tugas”. Tentu sebelum Ibu Septi menegaskan demikian tim penyusun buku Fasil
tercinta sudah memberi penguatan luar biasa kepada saya, membuat saya sangat
lega dan merasa punya keluarga dekat. Mba Mesa ketua tim buku menambahkan “Ingat-ingat pesan Ibu, selama masih on
track dengan misi hidup, jika ada tantangan, maka fokus dan tambah kecepatan.
Melesat bersama!”. Saya menangis….forum diskusi dengan Ibu Septi di tim
buku masih berlanjut saya hadiri sembari sesenggukan di sudut meja kantor saya
pagi itu, saat itu saya sudah mulai kuat beraktivitas. Saya berpikir dan
berkomunikasi ke diri saya sendiri, tantangan saya ini sebetulnya bisa saya
lalui, belum seberapanya dibandingkan kesulitan yang lain, atur-atur saja
prioritas dan sinergi dengan partner kerja baik di kantor maupun di tim fasil
bunsay. Hingga saat pagi itu saya langsung afirmasi dan menulis tulisan ini
untuk saya dan calon janin saya:
“Alhamdulillah
Naak…Bunda tak henti bersyukur. Kamu datang sangat mengejutkan. Kamu adalah
kehamilan ketiga Bunda. Calon bayi Bunda sebelumnya pergi kembali kepada Allah
saat usia kandungan Bunda 7 minggu. Tiga Bulan kemudian kamu datang Nak,
Alhamdulillah. Saat Bunda menulis ini kamu sudah berusia 9 minggu di Rahim
Bunda, detak jantungmu sudah berdegup kata Om Dokter. Sehat-sehat ya Nakku
sayang, mari kita kuat bersama, Bunda pinta adek sayang tidak perlu mengajak
Bunda mual-mual ya kali ini, karena Bunda akan ajak adek sayang untuk
berpetualang dalam project dan zona belajar Bunda. Dulu kakamas Naren juga
waktu di perut ikut Bunda kemana-mana di project Bunda, insyaAllah menyenangkan
sayangku. Mau ya?? Nanti bonusnya Bunda akan elus-elus adek di perut, Bunda
akan senandungkan lagu indah dan ajak adek mamam yogurt buah yang syegar
syegaaarrr…”(14-03-2017)
Demikian ternyata afirmasi diatas makin hari makin terbukti
membuat kemualan saya berangsur mereda, saya mulai bisa lagi menerima menu-menu
makanan yang sebelumnya saya tolak karena membuat mual. Sungguh kemajuan. Saya
semakin bertenaga. Rupanya betul, praktek komunikasi produktif pada diri
sendiri dengan teknik sugesti, hipnosi, afirmasi seperti ini membuahkan hasil.
Masya Allah.
Tantangan ketiga yang ingin saya sampaikan, saya punya
kenangan buruk terhadap gamification.
Saya tidak pernah suka kegiatan games yang sifatnya kompetitif atau untuk
menuju sebuah pembelajaran yang membuahkan apresiasi. Saya juga tidak suka
aplikasi games apapun yang ada di komputer ataupun handphone. Mungkin ada suatu peristiwa tertentu yang mebuat saya
demikian tapi saya tidak ingat persis apa peristiwanya. Sehingga jika ada
kegiatan outbound atau team building di kantor yang berupa
games, saya tidak pernah menikmatinya, bukan karena saya tidak menghargai upaya
filosofi dibaliknya, saya selalu menganggap hiburan semata, sebab mungkin cara
kebiasaan belajar saya yang berbeda, saya memang cenderung suka model belajar
yang serius agar dapat meresap dalam hati dan pikiran. Jadi, ketika pada kelas
bunda sayang ini ada games nya dan ada
badge, murni karena referensi
pengalaman yang mebuat saya terhambat semangatnya. Saya sampai berpikir apa iya
dalam keseharian nyatannya sungguh tercermin dari sejumlah badge yang
didapatkan. Jadi harus saya akui pemikiran ini menyumbang sebuah pemikiran yang
sedikit menghambat.
Sama seperti afirmasi diatas akhirnya saya melakukan apa
yang dalam NLP (Neuro-Lingusitic Programming) sebagai teknik menajamkan reframing
submodalities atas persepsi saya terhadap gamification. Sederhananya, saya ubah
frame saya sebelumnya soal games menjadi lebih terinci dan menarik. Saya
mundurkan dulu kata “games” dan saya kaburkan “badge” karena setelah saya
telusuri dua hal ini yang mengganggu mindset. Ini bukan menyoal tujuan kegiatan
ya, saya yakin maksud kegiatannya baik, namun bagi orang seperti saya yang
memiliki pengalaman terdahulu, hal ini harus diidentifikasi dan dicari jalan
keluarnya. Sama seperti menangani trauma. Jadi itu, saya tanamkan kuat-kuat
bahwa ini tantangan belajar bukan games, dan tidak ada badge, adanya apresiasi
terhadap keberhasilan belajar, itu saja. Sehingga seperti malam ini, 18 Maret
2016 saya masih berikhtiar menyelesaikan tantangan belajar ini
karena hanya sampai batas tanggal ini saja kesempatan saya.
Saya bahagia, dan saya berusaha terus untuk menaklukan
segala tantangan yang muncul. Barangkali dengan terengah-engah seperti inilah
proses belajar yang Allah inginkan untuk saya, who knows!?!…kan hanya Allah yang
paling tahu yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Terima kasih banyak
Institut ibu Professional.Sungguh, menapak demi setapak dan menjadi komunitas yang selalu bisa meneguhkan dan mengingatkan misi hidup awal, on track? Lanjut!! Tidak on track?? Change the strategy!!