Saturday, March 18, 2017

Menaklukan Tantangan Diri Seorang Ibu di Tengah Tantangan Kemandirian untuk Anak

Sebagai seorang ibu bekerja, yang bekerja di Ibukota dan harus menempuh perjalanan sebagai commuter dari rumah di Depok ke kantor di bilangan Slipi Jakarta, adalah suatu tantangan yang walaupun sudah dikatakan biasa namun melampauinya setiap hari membutuhkan sebuah keteguhan hati seluas samudra. Saya harus mengakui, menempuh segala tugas yang dichallenge dalam games kelas bunda sayang adalah sebuah upaya yang bagi saya luar biasa harus saya tempuh dengan segala rasa yang berkecamuk. Tantangan yang harus selalu konsisten, bagaimana menyiasati waktu yang saya miliki seoptimalnya di rumah. Bagian paling sedih adalah saat saya pulang ke rumah sudah tidak sempat bertemu anak saya sebab ia sudah tidur. Terkadang tengah malam memang anak saya terbangun, namun sudah pasti saya tidak akan menemaninya berlama-lama bangun sebab saya akan melanjutkan tidur agar esok hari saya bisa bangun tepat waktu melanjutkan kegiatan bekerja. Kebetulan dirumah saya tinggal bersama saya Ibu saya dan adik saya yang sedang saya kuliahkan. Jadi mereka akan mengatur waktu bergantian untuk menemani anak saya ketika terbangun malam. 

Jika ada kegiatan di kantor yang membutuhkan waktu tambahan untuk melakukan kerja di kantor hingga malam biasanya saya paling cepat tiba di rumah pukul 23.00. Allahu Akbar… membayangkan tiba di rumah hanyalah air segar untuk mandi lalu meluruskan punggung di kasur. Jika tidak ada kegiatan tambahan, paling cepat saya pulang dari kantor sampai rumah pukul 20.00. Padahal moda transportasi yang saya gunakan adalah kendaraan umum kereta listrik Commuter Line, yang memiliki efisiensi waktu tempuh paling cepat diantara moda transportasi lainnya bagi para pelaju seperti saya. Begitu mendapatkan tantangan kemandirian untuk anak, saya menghadapi sebuah kenyataan yang luar biasa harus saya hadapi. Tantangan kesempatan waktu, ya! betul sekali, diantara tantangan yang lain saya rasa inilah tantangan terbesar bagi ibu bekerja. Saya menyadari sepenuhnya mendelegasikan tugas pengasuhan kepada ibu saya selaku eyang anak saya adalah ikhtiar optimal yang dapat saya lakukan sebagai manajer pendidikan keluarga. Namun, tantangan kemandirian ini menyadarkan kepada saya bahwa melatih kemandirian yang dilakukan oleh ibuya sendiri memberikan sebuah kesempatan refleksi kepada saya selaku manajer pendidikan, untuk melihat sendiri sejauhmana kemampuan kemandirian yang sudah berhasil mana yang belum dan harus diteruskan pelatihannya kepada pihak yang saya delegasikan selepas tantangan kemandirian ini.

Anak saya laki laki berusia 31 bulan (2 tahun 7 bulan), dari catatan referensi ceklis kemandirian untuk rentang usianya, dalam rentang tantangan games level 2 ini saya memfokuskan pada dua macam kemandirian: 
  1. Makan sendiri 
  2. Mengambil benda yang dibutuhkannya sendiri
Oh Rabbi, diantara dua hal tersebut, melatih makan sendiri adalah yang bagi saya tantangan terbesar, sebab saya maupun eyangnya belum dengan optimal “rela” melihat hal yang berantakan dan khawatir makanan yang masuk tidak optimal. Kami lalu belajar merelakan makanan dan minuman tumpah dengan disertai do’a kepada Allah bahwa ini bukan maksud mubazir tapi maksud melatih. Demikian pula terhadap penggunaan tisu, kami sambil berdo’a bahwa bukan dalam rangka tidak go green tapi jika menggunakan lap, jumlah lap terbatas. Saya sendiri sambil berpikir, berapa kubik kayu sudah saya gunakan untuk ini, kelak saya harus punya ikhtiar untuk menggantikan hal ini, dan langkah pertama adalah dengan lebih konsisten lagi melatih anak makan sendiri. Saya pikir, inilah pemikiran yang saya dapatkan dari proses melatih kemandirian tersebut. 

Saya punya alasan khusus mengambil fokus dalam melatih kemandirian anak dalam hal makan sendiri, karena saya tidak mau anak saya seperti saya yang hingga kelas enam SD masih harus disuapin untuk makan. Saya memiliki kebiasaan yang pastinya dibentuk oleh mama saya. Saya mengalami sulit makan sejak balita, entah karena pengkondisian makan yang mebuat saya tidak bisa menikmati atau apa tapi saya selalu suka emut makanan, mama saya telaten sekali menyuapi karena khawatir saya tidak mendapatkan asupan yang cukup, hingga bagi mama saya lebih baik anak minta disuapin daripada asupannya tidak optimal. Saya punya catatan khusus mengenai ini, maka saya fokus agar anak saya tidak demikian. Penting karena yang sehari-hari mengasuh anak saya adalah mama saya, maka walopun sedikit kecenderungan alam bawah sadar mama pasti ada keinginan untuk selalu menyuapi.

Hal lain yang saya ingin alirkan disini selain tantangan waktu yang sudah saya sampaikan di atas, tantangan lain yang saya hadapi adalah tantangan anugerah amanah calon janin yang kemudian saya ketahui sedang bertumbuh di Rahim saya. Saat saya mengetahui usia kandungan sekitar enam minggu dan mulai emesis. Penyesuaian badan terhadap kehadiran janin membuat saya harus bedrest selama seminggu di rumah. Hormon kehamilan dan gula darah yang rendah membuat saya tambah berkecamuk. Menulis tantangan kemandirian tertunda total. Di tengah kegalauan, saya tidak kuasa untuk tidak bercerita rasa pada group fasil tercinta. Saya hampir menyampaikan untuk mengundurkan diri mengajukan cuti sebab saya merasa kurang bertanggung jawab. Namun di sisi lain saya tetap ingin berada di kelas bunsay dan mengampu kelas bunsay, karena ini justru pembeleajaran yang harus saya kejar sebagai ibu bekerja. Namun ujian muntah-muntah dan mual selalu menggoda untuk berpikiran lain. 

Saya hanya bisa berdo’a dan bertanya pada Allah, ya Allah apa kiranya yang sedang Engkau skenariokan pada hamba terhadap hal ini. Dua minggu lamanya saya sama sekali tidak produktif. Namun, Allah tidak lama kemudian memberikan jawaban melalui Ibu Septi, “Maka maknai project ini sebagai sarana belajar teman-teman bukan kewajiban atau tugas”. Tentu sebelum Ibu Septi menegaskan demikian tim penyusun buku Fasil tercinta sudah memberi penguatan luar biasa kepada saya, membuat saya sangat lega dan merasa punya keluarga dekat. Mba Mesa ketua tim buku menambahkan “Ingat-ingat pesan Ibu, selama masih on track dengan misi hidup, jika ada tantangan, maka fokus dan tambah kecepatan. Melesat bersama!”. Saya menangis….forum diskusi dengan Ibu Septi di tim buku masih berlanjut saya hadiri sembari sesenggukan di sudut meja kantor saya pagi itu, saat itu saya sudah mulai kuat beraktivitas. Saya berpikir dan berkomunikasi ke diri saya sendiri, tantangan saya ini sebetulnya bisa saya lalui, belum seberapanya dibandingkan kesulitan yang lain, atur-atur saja prioritas dan sinergi dengan partner kerja baik di kantor maupun di tim fasil bunsay. Hingga saat pagi itu saya langsung afirmasi dan menulis tulisan ini untuk saya dan calon janin saya:

“Alhamdulillah Naak…Bunda tak henti bersyukur. Kamu datang sangat mengejutkan. Kamu adalah kehamilan ketiga Bunda. Calon bayi Bunda sebelumnya pergi kembali kepada Allah saat usia kandungan Bunda 7 minggu. Tiga Bulan kemudian kamu datang Nak, Alhamdulillah. Saat Bunda menulis ini kamu sudah berusia 9 minggu di Rahim Bunda, detak jantungmu sudah berdegup kata Om Dokter. Sehat-sehat ya Nakku sayang, mari kita kuat bersama, Bunda pinta adek sayang tidak perlu mengajak Bunda mual-mual ya kali ini, karena Bunda akan ajak adek sayang untuk berpetualang dalam project dan zona belajar Bunda. Dulu kakamas Naren juga waktu di perut ikut Bunda kemana-mana di project Bunda, insyaAllah menyenangkan sayangku. Mau ya?? Nanti bonusnya Bunda akan elus-elus adek di perut, Bunda akan senandungkan lagu indah dan ajak adek mamam yogurt buah yang syegar syegaaarrr…”(14-03-2017)
Demikian ternyata afirmasi diatas makin hari makin terbukti membuat kemualan saya berangsur mereda, saya mulai bisa lagi menerima menu-menu makanan yang sebelumnya saya tolak karena membuat mual. Sungguh kemajuan. Saya semakin bertenaga. Rupanya betul, praktek komunikasi produktif pada diri sendiri dengan teknik sugesti, hipnosi, afirmasi seperti ini membuahkan hasil. Masya Allah.

Tantangan ketiga yang ingin saya sampaikan, saya punya kenangan buruk terhadap gamification. Saya tidak pernah suka kegiatan games yang sifatnya kompetitif atau untuk menuju sebuah pembelajaran yang membuahkan apresiasi. Saya juga tidak suka aplikasi games apapun yang ada di komputer ataupun handphone. Mungkin ada suatu peristiwa tertentu yang mebuat saya demikian tapi saya tidak ingat persis apa peristiwanya. Sehingga jika ada kegiatan outbound atau team building di kantor yang berupa games, saya tidak pernah menikmatinya, bukan karena saya tidak menghargai upaya filosofi dibaliknya, saya selalu menganggap hiburan semata, sebab mungkin cara kebiasaan belajar saya yang berbeda, saya memang cenderung suka model belajar yang serius agar dapat meresap dalam hati dan pikiran. Jadi, ketika pada kelas bunda sayang ini ada games nya dan ada badge, murni karena referensi pengalaman yang mebuat saya terhambat semangatnya. Saya sampai berpikir apa iya dalam keseharian nyatannya sungguh tercermin dari sejumlah badge yang didapatkan. Jadi harus saya akui pemikiran ini menyumbang sebuah pemikiran yang sedikit menghambat. 

Sama seperti afirmasi diatas akhirnya saya melakukan apa yang dalam NLP (Neuro-Lingusitic Programming) sebagai teknik menajamkan reframing submodalities atas persepsi saya terhadap gamification. Sederhananya, saya ubah frame saya sebelumnya soal games menjadi lebih terinci dan menarik. Saya mundurkan dulu kata “games” dan saya kaburkan “badge” karena setelah saya telusuri dua hal ini yang mengganggu mindset. Ini bukan menyoal tujuan kegiatan ya, saya yakin maksud kegiatannya baik, namun bagi orang seperti saya yang memiliki pengalaman terdahulu, hal ini harus diidentifikasi dan dicari jalan keluarnya. Sama seperti menangani trauma. Jadi itu, saya tanamkan kuat-kuat bahwa ini tantangan belajar bukan games, dan tidak ada badge, adanya apresiasi terhadap keberhasilan belajar, itu saja. Sehingga seperti malam ini, 18 Maret 2016 saya masih berikhtiar menyelesaikan tantangan belajar ini karena hanya sampai batas tanggal ini saja kesempatan saya. 

Saya bahagia, dan saya berusaha terus untuk menaklukan segala tantangan yang muncul. Barangkali dengan terengah-engah seperti inilah proses belajar yang Allah inginkan untuk saya, who knows!?!…kan hanya Allah yang paling tahu yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Terima kasih banyak Institut ibu Professional.Sungguh, menapak demi setapak dan menjadi komunitas yang selalu bisa meneguhkan dan mengingatkan misi hidup awal, on track? Lanjut!! Tidak on track?? Change the strategy!!